Oleh: I Made Adnyana, S.H., M.H. *

SISTEM jual putus menjadi satu pembahasan menarik dan banyak yang bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan sistem ini. Secara hukum, sistem jual beli atau juga disebut sold flat sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Problematika hak cipta dalam sistem jual beli putus muncul ke permukaan dan diperbincangkan setelah muncul silang pendapat dalam publikasi rekaman lagu pop Bali.
Bermula ketika AA Raka Sidan menyanyikan dan merekam lagu berjudul “Biro Jodoh” lalu mengunggahnya melalui kanal Youtube dengan menyebutkan sebagai karya ciptanya. Publik yang sudah mengenal lagu tersebut ketika dipopulerkan Ary Kencana tahun 2006 dan mengetahui lagu itu atas nama Ary Kencana, tentu saja protes dan keberatan. Di sisi lain, penggemar AA Raka Sidan menghujat Ary Kencana yang dulu dianggap mengakui karya cipta musisi lain.
Kasus lainnya dalam waktu bersamaan, AA Raka Sidan juga menyanyikan, merekam dan mengedarkan lagu pop Bali berjudul “Ubad Tatu” dan lagi-lagi mengklaim sebagai karya ciptanya. Hal ini juga menimbulkan reaksi dari penyanyi bernama Margi yang mempopulerkan lagu tersebut pada tahun 2007 dan nama penciptanya tercantum Wayan Suardina. Kembali muncul pertanyaan, siapa pencipta sesungguhnya dan mengapa sampai timbul polemik?
Berdasarkan penelusuran dan dilengkapi dengan pernyataan masing-masing pihak yang terkait, bahwasanya lagu “Biro Jodoh” memang ciptaan AA Raka Sidan, namun pada saat lagu tersebut akan direkam dan diproduksi di Januadi Record, terjadi sistem jual putus. Untuk menghindari konflik karena pada saat tersebut AA Raka Sidan masih terikat kontrak pada perusahaan rekaman lain, maka sistem jual putus juga menyepakati nama pencipta diganti. Hal yang sama juga terjadi pada lagu “Ubad Tatu” yang diproduksi oleh studio rekaman Jayagiri Production, AA Raka Sidan melakukan sistem jual putus dan menyetujui nama pencipta diganti untuk alasan tertentu.
Pertanyaan yang muncul, apakah seseorang dapat menggunakan karya cipta yang sudah dijual putus dahulu dan mengklaim sebagai karya ciptanya sendiri? Bagaimana sesungguhnya pengertian dan sistem jual beli putus, apakah secara otomatis menghilangkan atau menghapus hak cipta si pencipta asli?
Sebelum membahas tentang sistem jual putus, perlu diingat dan dipahami kembali apa hakikat hak cipta sebagai salah satu hak kekayaan intelektual (HKI). Mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 1994 mengenai pengesahan WTO, yang dimaksud dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak yang didapatkan dari hasil olah pikir manusia untuk dapat menghasilkan suatu produk, jasa, atau proses yang berguna untuk masyarakat. Pemahaman lainnya, HKI adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada kreator, inventor, atau pendesain atas hasil kreasi atau temuannya yang memiliki nilai komersial, baik langsung secara otomatis maupun melalui pendaftaran pada instansi terkait, sebagai bentuk penghargaan atau pengakuan hak yang patut diberikan perlindungan hukum.
Salah satu bentuk HKI adalah hak cipta, yang berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dimaksudkan sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini perlu digarisbawahi prinsip deklaratif, yang terdapat pernyataan atas satu karya cipta. Ciptaan yang dimaksud adalah bentuk nyata sebagai ekspresi baik di bidang ilmu pengetahuan, seni, maupun sastra yang dibuat berdasarkan inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian.
Pasal 4 UU Hak Cipta menyatakan, hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Berikutnya Pasal 5 menjelskan, hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum, menggunakan nama aliasnya atau samarannya, mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat, mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Hak moral tidak dapat dialihkan selama [encipta masih hidup, tetapi pelaksanaan hak tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah pencipta meninggal dunia.
Hak lain atas yang melekat pada hak cipta adalah hak ekonomi, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 8 UU Hak Cipta yang menyatakan hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Dalam hal ini pencipta atau pemilik hak cipta dilindungi oleh hukum untuk dapat memanfaatkan ciptaan dan/atau produk hak terkait dengan tujuan untuk mendapatkan penghasilan atau memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar. Hal ini dipahami sebagai penggunaan hak cipta secara komersial.
Dalam pelaksanaannya, hak cipta tak terlepas dari hak milik. Dengan demikian pemilik hak cipta mempunyai hak mutlak atas miliknya dan dapat melakukan tindakan apa saja terhadap miliknya seperti menggunakan, menikmati, menyewakan, menjaminkan atau mengalihkan hak tersebut melalui pewarisan, hibah, wasiat maupun jual beli. Dalam hal inilah, pemilik hak cipta dalam melakukan transaksi jual beli dapat memilih sistem jual putus atau sold flat atas ciptaannya. Penjelasan pasal 18 UU Hak Cipta dengan tegas menyebutkan: Jual putus adalah perjanjian yang mengharuskan pencipta menyerahkan ciptaannya melalui pembayaran lunas oleh pihak pembeli sehingga hak ekonomi atas ciptaan tersebut beralih seluruhnya kepada pembeli tanpa batas waktu, atau dalam praktik dikenal dengan istilah sold flat.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa pada saat seorang pencipta melakukan jual putus, maka yang beralih hanya “hak ekonomi”, tidak termasuk “hak moral”. Hak moral tetap melekat pada si pencipta. Sebagai catatan, terdapat kontradiksi antara Pasal 18 UU Hak Cipta dengan bagian penjelasan UU 18 Hak Cipta. Jika dalam bagian penjelasan dinyatakan peralihan hak ekonomi tanpa batas waktu, namun pada pasal 18 justru menyebutkan, hak cipta yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, hak ciptanya beralih kembali kepada pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.
Ketentuan hukum dalam peraturan perundang-undangan sudah secara jelas mengatur mengenai hak cipta termasuk jual beli hak cipta yang di dalamnya terdapat sistem jual putus. Bahwa pada sebagian besar jual putus hanya menyangkut hak ekonomi, sehingga nama si pencipta tetap tercantum sebagai pengakuan hak moral. Menjadi persoalan ketika terjadi perjanjian lain di luar ketentuan hukum, perjanjian dengan kesepakatan kedua belah pihak saja, atau bahkan di bawah tangan, tentu akan sulit menemukan atau mendapatkan kepastian hukum. Dalam praktiknya, jual putus pada lagu pop Bali juga diikuti dengan penggantian nama si pencipta karena pertimbangan satu dan lain hal, sehingga apabila di kemudian hari terjadi sengketa, akan sulit membuktikan hak moral si pencipta sesungguhnya, kecuali memang dibuatkan atau dicantumkan dalam perjanjian. Berbeda apabila terdapat perjanjian kontrak yang menyebutkan nama seseorang sebagai pencipta, lalu si pencipta melakukan jual putus dengan segala ketentuannya.
Dalam kasus lagu “Biro Jodoh” dan “Ubad Tatu”, apabila memang benar lagu tersebut adalah ciptaan AA Raka Sidan yang dilepas dengan sistem jual putus, maka sesungguhnya tidak masalah jika ia merekam dan menyanyikan kembali lagu tersebut, yang dalam hal ini sebagai wujud penggunaan hak ekonomi, apabila sudah melewati 25 tahun sejak perjanjian jual putus dibuat. Problematika yang hanya dapat diselesaikan dengan cara duduk bersama untuk menghasilkan satu kesepakatan atau bisa dikatakan sebagai restorative justice adalah bahwa kedua lagu yang disebutkan dijual putus dengan diikuti penggantian nama pencipta.
Dalam hal inilah, pencipta lagu pop Bali perlu memahami dengan baik hak cipta yang di dalamnya terdapat hak moral dan hak ekonomi, bagaimana memanfaatkan hak tersebut dalam jangka waktu panjang agar tak ada yang merasa dirugikan. Apabila sudah melakukan atau mengambil satu tindakan hukum seperti perjanjian atau kontrak, tentu harus memahami isi dan akibat dari kontrak tersebut. Kiranya kasus-kasus yang terjadi dapat menjadi pembelajaran untuk lebih bijak lagi dalam mengambil tindakan ke depannya. ***
*Penulis adalah dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mahadewa Indonesia