
BANYAK grup band, duo atau trio yang diam-diam tanpa ada kabar berita sudah bubar, atau setidaknya vakum. Beda dengan duo musisi dari Bali, Pygmy Marmoset (Pygmos). Sebelum “resmi” vakum, Pygmos justru berkabar kepada orang-orang yang menikmati musik mereka. Tak hanya itu, mereka bahkan merilis satu mini album khusus sebagai ‘kenang-kenangan’ sebelum menghilang dari riuh rendah panggung musik.
PYGMOS yang digerakkan duo Sanjay dan Zenith memang memutuskan untuk vakum, seiring dengan hijrahnya Zenith ke Jerman mengikuti sang suami. Kabar bahwa Pygmos akan mengalami hibernasi panjang, justru memancing ide kreatif orang-orang di sekitar mereka. Atas dorongan sahabat-sahabat dan tim kreatif pula, sebagai tanda ‘perpisahan’, duo yang sudah satu padu baik dalam berkarya maupun penampilan ini akhirnya memutuskan untuk merekam dua lagu baru, “Unknown World” dan “Fight Me Under The Hill”. Menyertainya, satu lagu yang sudah pernah ada di album sebelumnya, “Kuko The Bird”.
Apakah sudah cukup sebegitu saja? Pygmos memang beda, kalau takbisa disebut musisi yang benar-benar kreatif. Jika album pertama “Kabar dari Hutan” yang dirilis tahun 2014 dikemas seperti surat bersampul, maka album rekaman kedua ini sepaket dengan sandiwara radio, lengkap dengan buku naskah bergambar, dengan judul “Legenda Ksatria Kuko”.
“Jadi berdasarkan isi tiga lagu di album ini, dibuatlah satu cerita sandiwara radio. Naskahnya dikerjakan Agung Yudha, sedang sandiwara radionya direkam oleh Teater Kini Berseri,” jelas Sanjay kepada mybalimusic.com.
Tak berhenti sampai di sana, sebuah acara pementasan “Legenda Ksatria Kuko” digelar akhir bulan lalu, sekaligus sebagai konser “terakhir” Pygmos sebelum keberangkatan Zenith ke Jerman. Menariknya lagi, “Legenda Ksatria Kuko” sebagai album khusus Pygmos, hanya diproduksi sebanyak 100 paket saja. Bukan karena masalah modal produksi, pun bukan karena tak yakin kalau akan ada yang lebih banyak penasaran dengan album ini, namun menurut Sanjay, justru mereka ingin menjadikan album kedua Pygmos tersebut benar-benar sebagai sesuatu yang spesial.
“Jadi hanya 100 orang saja yang beruntung memiliki album ini,” tegas Sanjay sembari mengatakan tidak ada rencana dan memang takkan direkam lebih banyak lagi sesudahnya.
Dijelaskan, bagi Pygmos memang tak ada jalan selain memutuskan vakum, seiring hijrahnya Zenith ke luar negeri . Sekali lagi vakum, bukan bubar, karena tak tertutup kemungkinan satu saat ketika Zenith pulang ke Indonesia, atau bahkan dengan dukungan teknologi rekaman secara terpisah, Pygmos akan berkarya lagi. Jika ada yang bertanya mengapa tidak memutuskan untuk mencari pengganti Zenith agar Pygmos tetap ada dan bisa meneruskan kreativitas, tegas pula Sanjay menolak.
“Tidak akan ada dan tidak terpikir mencari pengganti. Pygmos itu ya Zenith dan saya. Kami sudah menyatu, chemistry-nya sudah dapat banget. Tak mungkin mencari pengganti Zenith untuk tetap menghidupkan Pygmos. Jadi keputusannya ya vakum saja,” kata Sanjay.
Begitu pula Sanjay menyatakan belum punya bayangan apakah akan membuat project baru untuk meneruskan kiprahnya di musik, walaupun kemungkinan itu ada. “Saya bermusik karena hobi, mengalir saja. Jadi tidak ada target harus begini begitu,” demikian Sanjay.
Pygmos berawal dari pertemuan tanpa sengaja Zenith dan Sanjay kemudian berlanjut dengan obrolan untuk membuat lagu anak-anak dan stok lagu lain, yang pastinya tak akan cocok jika dibawakan oleh band masing-masing. Sebelumnya, Sanjay bergabung dengan band D’Kantin, sedangkan Zenith pernah main bersama Emergency Exit. Persamaan ide untuk membuat karya yang santai dan mudah dicerna, mendorong Sanjay dan Zenith untuk melahirkan Pygmos. Hanya berdua, mereka memainkan musik “bersahaja” – yang oleh Sanjay lebih cocok disebut music dalam ruangan — dengan genjrengan gitar akustik, dentingan glockenspiel, hembusan pianika, yang menjadi dasar lagu-lagu Pygmos yang ceria. Dalam garapan lagunya, mereka banyak menyuarakan pesan-pesan peduli lingkungan, hanya saja tak terkesan berat atau berbau politis. (231)
