
APA jadinya bila sejumlah “lawas” musik Bali berkumpul dan berkarya? Jawabnya bisa dilihat pada Lemurian Codex. Mungkin nama ini terdengar aneh dan masih asing. Wajar saja, karena mereka memang baru saja muncul. Pekan lalu, grup ini memperkenalkan single pertama mereka yang diberi judul “Lemurian Manifesto”.
Lemurian Codex ini merupakan project eksplorasi dalam bermusik Moel, pentolan band metal bali Eternal Madness. Sejak pertengahan 90-an, Moel dikenal sebagai vokalis juga penulis lagu sekaligus bassisr Eternal Madness, band metal dengan ciri etniknya dikenal luas tak hanya di komunitas musik keras di Indonesia namun hingga mancanegara. Untuk Lemurian Codex, Moel menggandeng AA Goya, drummer juga salah satu pendiri Vexerm, band tribute Metallica. Ditambah Sigit Soegeng, musisi multi instrumental juga keyboardis yang banyak memainkan music jazz dan klasik.
Soal nama grup, konon diambil dari kata Lemurian, legenda bersifat fiksional yang mulai populer pada awal abad 19 di kalangan mistikus , budayawan dan ilmuwan Eropa tentang masyarakat maju yang menjunjung perdamaian dengan kebijakan serta kemampuan di atas manusia rata-rata. Sedangkan Codex bisa diartikan hukum/undang-undang, naskah kuno.
“Lagu pertama kami, Lemurian Manifesto bercerita tentang legenda Lemurian itu. Ini menjadi satu dari 7 lagu yang masih penyelesaian rekaman, dan rencananya akan kami rilis dalam kemasan mini album,” jelas Moel.
Untuk rekaman ini, Lemurian Codex didukung Marylinisa, instruktur vokal yang mengisi vokal sopran, ada juga Ricky Rangga, gitaris Siksa Kubur yang mengisi solo gitar, dan Agus Aris (Eternal Madness) yang mengisi gitar ritem.
Untuk lagu-lagu lainnya, menurut Moel tak lepas dari ide setelah melihat kegelisahan akan kondisi dunia yang dengan trend media sosial di internet bukan cuma berdampak positif tetapi banyak melahirkan hal-hal yang berbau negatif . Terutama meningkatnya isu SARA, fanatisme yang tidak bertoleransi lagi dan hal-hal yang kemudian berdampak pada terjadinya perpecahan bahkan kekerasan fisik di masyarakat luas.
“Pendekatan budaya menjadi dasar pengembangan lagu-lagu yang kami tulis, dengan harapan sedikit banyak dapat mengingatkan kepada masyarakat luas bahwa kultur budaya yang toleransi adalah akar utama pemersatu tanpa melihat asal, suku, ras bahkan agama,” demikian Moel. (*/231)