SAAT menyaksikan film “Leak” karya sineas Bali setahun silam, satu kata yang muncul, kecewa. Filmnya sangat underrated dari banyak aspek. Maka ketika dari produser, penulis skenario, sutradara yang sama muncul “Leak (Penangkeb)” ada rasa penasaran yang sangat kuat, bakal seperti apa film ini. Terlebih lagi, tak seperti karya terdahulu, film kali ini akan tayang secara nasional di sejumlah kota.
Well, bagi saya pribadi, mendukung dan menghargai kreativitas anak bangsa apalagi karya lokal Bali, wajib hukumnya. Salah satu bentuk apresiasi, menyediakan waktu secara khusus dan beli tiket, nonton filmnya. Meskipun ada yang bertanya, “Kamu nonton film begitu?” Ah, saya tak pernah nyinyir sebelum membuktikan sesuatu. Maka tak ada alasan lain, saya harus nonton “Leak (Penangkeb)” di hari pertama pemutarannya. Sengaja, saya pilih bioskop tertentu untuk mendapatkan suara yang lebih jernih dan gambar yang lebih terang.
Film yang berdurasi 78 menit ini mengisahkan tentang sekelompok pemuda yang menginap di sebuah vila untuk melakukan pemotretan. Sejak awal, Yessy, Yunda, Kayun, dan Edy merasakan ada yang aneh. Makin kuat ketika Sandra, teman Yessy datang bergabung. Terungkap kalau salah satu vila ditinggali oleh seorang nenek yang lumpuh dan sekarat, yang sengaja “disembunyikan” oleh keluarga pemilik vila karena masyarakat menudingnya bisa nge-leak. Dengan bantuan pamannya yang memiliki ilmu mumpuni, Yessy berusaha membantu agar si nenek bisa meninggal dengan tenang dan ilmu pengeleakan yang dikuasainya bisa dilebur.
JAUH LEBIH BAIK. Apakah film “Leak (Penangkeb)” seram? Bagi saya tidak. Meskipun ada beberapa adegan penampakan dan nuansa mistis, namun suasana horor tak cukup kuat muncul. Entah apakah karena film ini dimaksudkan untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik dan benar tentang pengleakan, tak melulu hanya menakut-nakuti penonton.
Jika di film pertama sebagai penonton total saya merasa kecewa, namun kali ini rasa serupa lumayan berkurang. Kualitas gambar yang ditampilkan jauh lebih baik dari “Leak”. Sudut pengambilan gambar juga lebig variatif, frame demi frame lebih bisa dinikmati. Walaupun pada beberapa bagian masih ada gambar yang fokusnya tidak konstan, dan yang paling kentara tone colour untuk beberapa scene sangat berbeda.
Bagaimana dengan tata suara? Nah, harus diakui untuk “Leak (Penangkeb)” tata suara juga jauh lebih baik dan lebih jelas, meski ada bagian tertentu masih ada noise yang terbawa. Begitu pula ilustrasi musik yang cukup dominan sepanjang adegan, beberapa kali malah terkesan “mengganggu” karena dialog menjadi kurang jelas dan suasana yang terbangun menjadi lemah. Penggunaan beberapa dialog dalam bahasa Bali cukup membantu para pemain menghidupkan adegan, daripada beberapa adegan menggunakan bahasa Indonesia bergaya ibukota dengan logat Bali sangat medok.
NILAI EDUKASI. Meskipun masih belum begitu kuat, akting para pemain juga jauh lebih baik dari akting di film “Leak”. Sebut misalnya peran Kiki Soleil sebagai paranormal yang membantu menetralisir ilmu pengleakan. Begitu juga akting Galuh Bilen sebagai Ibu yang berpasangan dengan Gus Surya sebagai Bapak. Tentu tak boleh dilupakan pemunculan kembali Astrid yang berusaha total sebagai nenek yang menguasai ilmu pengleakan.
Ada cukup banyak peluang bagi sutradara untuk membangun chemistry antarpemain, namun hanya sedikit saja yang tergarap baik. Salah satunya dialog ketika tokoh ibu protes karena suaminya sering kali abai dengan kondisi nenek yang sedang sakit, diminta membawakan bubur malah dijadikan kesempatan untuk mengurus ayam aduan (meskipun tak ada adegan si bapak main-main dengan ayam sebagaimana dilakukan banyak bapak-bapak di kampung).
Pemunculan bintang FTV, Sandra, terkesan hanya tempelan untuk mempermanis suasana. Kehadirannya tak terlalu signifikan dan berarti untuk keseluruhan cerita. Pun, tokoh jero balian yang beberapa kali muncul, serta menjelaskan tentang apa itu pengleakan, sama sekali tak bersinggungan dengan salah satu tokoh, sehingga terkesan berdiri sendiri sebagai bagian terpisah. Padahal pemunculan tokoh jero balian ini bisa memperjelas dan memperkuat benang merah cerita.
Nilai plus yang ditawarkan, film ini membawa pesan edukasi tentang salah satu bagian dari budaya Bali. Bagi mereka yang belum atau tak paham tentang apa itu leak, secara tak langsung akan terbantu dengan penuturan, penjelasan tentang ilmu pengleakan, juga mitos-mitos lain seputarnya. Salah satunya bahwa mereka yang bisa ngeleak baru akan meninggal dengan tenang tak hanya dengan cara menurunkan ilmu kepada kerabatnya, namun juga bisa dengan cara memohon ke prajapati, mengembalikan ilmu itu untuk dilebur. Begitu pula beberapa adegan yang dilakukan nyata, termasuk pemeran yang trance saat adegan ngereh di kuburan.
TERJEPIT FILM KUAT. Bagaimanapun juga, upaya Mimi Jegon untuk menampilkan karya yang lebih baik dari sebelumnya, patut diacungi jempol. Begitu pula untuk kegigihannya membawa film “Leak (Penangkeb)” menasional, bisa ditayangkan di sejumlah bioskop di luar Bali. Kalau kemudian film ini mendapat jatah layar, kesempatan untuk tayang tak begitu banyak, sangat bisa dimaklumi. Di luar konteks kualitas karya secara utuh, “Leak (Penangkeb)” muncul di saat yang “kurang menguntungkan”. Ia harus tampil ketika penggemar film masih terbawa euphoria “Dilan 1991” dan “Captain Marvel”. Belum lagi persaingan dengan beberapa film horror lain seperti “Reva Guna-guna”, “Sacred Riana”, atau “Misteri Dilaila”.
Daya tarik yang bisa diandalkan “Leak (Penangkeb)” tentu saja fanatisme dan dukungan terhadap produksi lokal Bali, budaya dan nama Bali yang masih kuat menarik perhatian luar. Maka angkat topi ketika untuk penayangan dua hari pertama (14 dan 15 Maret), kursi di 4 bioskop Cinemaxx, 2 bioskop jaringan XXI dan Denpasar Cineplex terisi penuh. Semoga demikian juga dengan daerah lain yang memutar film ini – Mataram, Kupang, Kendari, Tangerang, Karawang, dan Bekasi. Akankah setelah ini ada lagi film produksi lokal Bali yang menembus layar bioskop secara nasional? Sangat mungkin dan mari kita harapkan untuk itu. *adnyana231