APAKAH betul, di antara sekian banyak posisi dalam instrumen musik etnik, peniup seruling kurang bergengsi dan tak banyak menarik perhatian publik? Dulu, beberapa tahun lalu mungkin iya. Namun kondisinya tentu sudah berbeda saat ini. Terlebih setelah rekaman instrumental kian mendapat tempat di kalangan penikmat musik. Hal ini dirasakan betul oleh Gus Teja, musisi asal Junjungan, Ubud, yang berjaya sebagai “peniup suling”.
Kepada mybalimusic.com, Gus Teja menuturkan, dulu ketika baru memulai membuat karya pertama, ia belum begitu melihat anak-anak muda menyukai bermain suling. Saat itu ia melihat ada kecenderungan bahwa bermain suling itu tidak se-elegan bermain kendang. “Kendang selalu jadi instrumen idola, tak banyak yang mau bermain suling, karena mungkin kalau main suling wajah kita akan terlihat jelek, tak bisa senyum. Cewek-cewek tak mau lihat pemain suling,” ujarnya sembari tertawa.
Kondisi tersebut tentu saja sudah berbalik 180 derajat dengan saat ini. Gus Teja mengamati, banyak sekali anak muda yang dengan bangganya mengunggah kegiatan main suling mereka di media sosial seperti FB. Begitu pula banyak bermunculan grup-grup instrumental musik. Tak sedikit di antara mereka menggunakan alat-alat musik yang sama seperti apa yang dimainkannya. Menurutnya, tentu saja ini adalah kabar baik bagi seni dan budaya kita. Maraknya grup-grup musik etnik ini telah menegaskan kepada kita, bahwa sebenarnya kesenian kita telah berkembang sedemikian rupa, tidak lagi monoton, dan karenanya kita patut bangga akan hal ini.
Saat ini Gus Teja sendiri selain sibuk manggung, juga sedang disibukan oleh proses pembuatan album ke-4. “Saat ini waktu saya banyak tersita untuk proses rekaman ini. Sama seperti proses pembuatan album sebelumnya, saya mau selalu fokus terhadap apa-apa yang saya kerjakan, melihat segala prosesnya berjalan dengan baik dan sesuai rencana saya, hingga sampai akhirnya saya melihat hasil dari proses itu sesuai dengan apa yang saya kehendaki,” tuturnya.
Meskipun tidak secara jelas menyebutkan keistimewaan apa lagi yang akan ditampilkannya nanti, Gus Teja menyatakan, tiap membuat album baru, ia selalu berpikir bagaimana agar karyanya tidak monoton. Sekalipun di tiap karya atau album baru, ia selalu memakai alat musik tiup sebagai rohnya, namun jika disimak secara utuh dari tiga album yang telah dirilisnya, tiap album memiliki “dunia” tersendiri yang membedakannya satu dengan lainnya. “Tentu saja ia punya perbedaan. Begitu pula album 4 saya nanti, dia punya karakternya sendiri. Itu adalah tantangan bagi saya,” tegasnya.
Hampir 10 tahun berusaha membuat rekaman sendiri dan memperkenalkannya ke masyarakat luas, Gus Teja melihat sejauh ini masyarakat mengapresiasi dengan baik sekali karya-karyanya. Tak hanya masyarakat Indonesia saja, tetapi juga mancanegara. Bahkan album pertama yang umurnya sudah 8 tahun, penjualan CD-nya masih tetap jalan dengan baik. Tanpa bermaksud tinggi hati, ketika ditanya bagaimana hasil dari keseluruha album yang telah dibuat, dari tiga rekaman yang ada, hingga saat ini telah terjual sekitar 100 ribu keeping CD, yang tiap kepingnya dijual dengan harga sepantasnya, Rp 100 ribu.
“Tentu saja ini merupakan hasil yang lebih dari cukup untuk sebuah manajemen sederhana seperti kami. Di samping itu, penjualan online kami di iTunes tiap tahun makin meningkat juga,” tambahnya.
Untuk album ke-4 yang digadang-gadang akan beredar Oktober mendatang, saat ini tengah memasuki tahap mixing. Dalam waktu dekat Gus Teja juga akan berangkat ke Jakarta untuk merekam dua lagu lagi di SAE. (231)