TERLEPAS dari pro dan kontra yang muncul di masyarakat, arak ternyata sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu bahan pengobatan tradisional. Bukan sekadar konon katanya, ada banyak menarik yang perlu diungkap di balik minuman tradisional masyarakat Bali ini. Bahkan bila perlu, kandungan arak perlu diuji secara saintifik sehingga menguatkan fungsinya sebagai obat tradisional alternatif dalam penanggulangan penyakit.
Tertarik dengan itulah, videographer juga sutradara muda dari Bali, Gus Hari Kayana mencoba memvisualisasikan bagaimana arak Bali bisa menjadi alternatif pengobatan salah satunya untuk menangani Covid-19. Gagasannya itu dituangkan dalam satu film dokumenter berjudul “Arak The Bright Forgotten Fire”.
“Secara lebih khusus masalah yang saya angkat adalah rahasia di balik arak sebagai obat tradisional hingga uji klinis arak yang dijadikan obat alternatif Covid-19. Hal itu saya kemas dalam film dokumenter berdurasi 25 menit,” jelas Gus Hari.
Judul “Arak The Bright Forgotten Fire” yang berarti cahaya positif dari api dimaksudkan bagaimana selama ini kita berpikir arak itu negatif, api yang membakar, apa amarah. padahal dari api tersebut ada satu terang atau cahaya yang bernilai positif, dalam hal ini arak bisa sebagai obat.
“Selama ini kan kesannya arak itu selalu negatif, diharamkan. Ternyata ada poin positif yang bisa diambil darinya,m dan itu diyakini oleh peradaban masa lalu di mana alkohol dalam takaran yang tepat bisa menjadi bahan pengobatan,” jelas Hery Budiana sebagai produser dari SRCO yang mengerjakan projek ini.
Layaknya film dokumenter, untuk menyelesaikan film ini, Gus Hari mengumpulkan data secara faktual dengan cara observasi dan wawancara. Proses penciptaan dalam pembuatan film dokumenter juga tak berbeda jauh dari karya film umumnya, mulai dari tahap praproduksi, produksi, dan pascaproduksi. Bagi Gus Hari, ketiga tahapan ini menjadi poin penting dalam penciptaan film “Arak The Bright Forgotten Fire”. Rencananya, film dokumenter yang dibiayai oleh LP2M Institut Seni Indonesia Denpasar melalui program penelitian dan penciptaan seni (p2s) ini akan dipertunjukkan ke publik mulai pertengahan September ini.
Ketika ditanya mengapa tertarik mengangkat soal destilasi arak, Gus Hari menjelaskan, destilasi sebagai kunci utama dalam pemisahan fraksi-fraksi minyak bumi, mempunyai peranan yang sangat banyak dalam kehidupan manusia. Teknik destilasi ini pula sekiranya dapat menumbuhkan ide pengembangan proses destilasi pada arak sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Bali.
Ditambahkan, kearifan lokal bidang kesehatan merupakan suatu keunggulan dari bangsa Indonesia di mana setiap etnis memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dan kearifan lokal yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh sumber daya alam, hewani dan nabati yang tumbuh di setiap daerah berbeda.
Mengutip pendapat seorang pakar, kearifan lokal masyarakat Bali bidang kesehatan telah ada turun-temurun yang berasal dari nenek moyang dengan menggunakan bahan-bahan alam yang ada di Bali. Lontar usada adalah salah satu bagian dari budaya Bali yang memuat pengetahuan tentang pengobatan tradisional. Naskah dalam lontar usada Taru Pramana menguraikan ragam jenis tumbuh-tumbuhan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Terdapat ratusan tumbuhan yang disebutkan dalam lontar Taru Pramana dapat dijadikan sebagai obat tradisional Bali.
“Teknik pengobatan dengan destilasi arak telah menjadi kearifan lokal masyarakat Bali sejak lama. Metode pengobatan tradisional kini mulai dijamah kembali untuk menanggulangi kasus penyakit pernafasan yang marak beredar saat ini,” ujar Gus Hari.
Tak berlebihan kiranya di tengah pendemi Covid-19, sejumlah tokoh masyarakat mengungkapkan, secara pharmatology pengobatan diformulasikan secara khusus oleh untuk membantu memudahkan oksigen masuk ke dalam tubuh penderita penyakit pernafasan. Dalam hal ini arak digunakan dalam setiap ramuan digunakan karena aromanya mampu menghasilkan uap yang dapat menyapu bersih virus yang ada di saluran pernapasan.
“Kalaupun kemudian diperlukan puja dan mantra untuk memberikan khasiat pada obat yang akan diramu, ya ini karena semua dikerjakan secara tradisional. Tentunya penyesuaian antara obat dan pasien juga mempengaruhi kinerja obat saat dikonsumsi pasien,” demikian Gus Hari. (231)