ACARA tahunan Soundrenaline memang sudah berakhir. Namun kesan-kesan dan pembicaraan seputar ajang musik terbesar di Asia Tenggara ini masih hangat-hangatnya. Terlepas dari percik-percik ketidakpuasan, kritik terhadap panitia yang dianggap tidak peka dan akomodatif terhadap lagu berbahasa Bali sebagai unggulan tuan rumah acara, ada beberapa catatan menarik dari Soundrenaline 2019 yang berlangsung di GWK, Ungasan, 7-8 September lalu ini.
Jika capaian jumlah penonton menjadi ukuran sukses satu acara, Soundrenaline 2019 bisa dikatakan sukses besar. Tahun ini, jumlah penonton mengalami peningkatan yang bisa dikatakan sangat signifikan. Bahkan di hari kedua, Minggu (8/9), penonton di seluruh area tempat acara benar-benar padat. Untuk bergerak dari satu panggung ke panggung lain, benar-benar butuh kesabaran.
Fakta bahwa pengunjung membludak bisa dilihat dari parkir kendaraan yang terpaksa harus diarahkan ke parkiran kantor GWK di bagian depan karena area parkir yang dipersiapkan sebelumnya sudah penuh sedari sore. Menurut salah satu petugas dari GWK, jika hari pertama untuk motor saja hitungannya lebih dari 3.500 unit yang masuk, hari kedua meningkat menjadi 4.500 unit. Belum terhitung mobil dan kendaraan antar jemput. Untuk hari pertama saja, sekitar pukul 02.00 pagi kendaraan baru bisa habis keluar semua karena saking padatnya.
Menariknya, penonton yang datang tak semuanya secara khusus datang untuk menyaksikan penampilan satu atau dua grup. Tak sedikit yang datang untuk menikmati suasana, atmosfer di area tempat acara, yang ditata sedemikian rupa dengan memadukan berbagai elemen kreatif. Jika kemudian penonton yang memang ingin menyaksikan pertunjukan musik, mau tak mau harus “mengorbankan” daftar beberapa penampil yang diharapkan, karena sebagian band atau solois tampil dalam waktu berdekatan di lokasi yang berbeda, sementara untuk bergerak atau pindah lokasi akan sangat sulit karena padat dengan kerumunan.
Jika ada yang mengatakan penggemar tontonan musik seperti Soundrenaline adalah anak muda, salah besar. Penonton yang datang bisa dibilang dari rentang umur yang sangat beragam. Bahkan tak sedikit orangtua yang menonton bersama keluarga. Apakah karena mereka ingin bernostalgia dengan beberapa grup band atau penyanyi lawas seperti Jamrud, Padi, Kahitna, Shaggydog? Bisa jadi begitu. Sementara sang anak lebih cenderung menantikan nama-nama band dan penyanyi “masa kini” semacam Kunto Adji, Hivi, Firsa Besari, Barasuara dan lainnya.
Maka seakan tak ada sekat-sekat khusus antarpenonton, selain mereka datang karena musik, mereka datang karena tertarik dengan tata panggung yang unik, pun elemen-elemen dan kegiatan kreatif lainnya. Karenanya bukan hal aneh melihat banyak anak muda milenial berbaur menonton grup “veteran” macam Kahitna atau Jamrud. Atau menyaksikan bapak-bapak dan ibu-ibu turut menikmati penampilan Hivi maupun Mondo Gascaro.
Sejak awal Soundrenaline 2019 mengumumkan line-up atau pengisi acara yang akan tampil, memang sempat ada yang mengungkapkan pesimis, karena dianggap nama-nama yang tampil tahun ini kurang greget, kurang “sangar”, pun termasuk untuk bintang dari luar negeri yang dipilih, Suede. Tapi musik itu memang masalah selera, masalah ketertarikan secara personal. Masing-masing punya “target” sendiri pertunjukan mana yang tak boleh dilewatkan.
Jika satu dua penampil saja yang dilihat, mungkin penonton memang tak seberapa. Namun bila masing-masing penonton dari penampil yang “tak seberapa” itu dikumpulkan, dan tetap sukacita berada di lokasi sampai acara kelar, maka tentu akan menimbulkan kepadatan yang luar biasa. Itulah yang terjadi pada Soundrenaline 2019. Menarik juga misalnya ketika penonton yang berminat menyaksikan Burgerkill, karena datang lebih awal agar bisa dapat posisi bagus setidaknya dekat panggung, mau tak mau ‘harus’ menyaksikan Kahitna sebelumnya, dan mereka pun jadi tahu band yang mungkin belum pernah ditonton sebelumnya.
Melihat beragamnya warna musik yang disuguhkan di empat panggung besar plus dua panggung kecil untuk showcase, Soundrenaline sepertinya memang berusaha menunjukkan bagaimana tema acara tahu ini, spirit of all time (yang mewakili 17 kali penyelenggaraan Soundrenaline) bisa diwujudkan. Sekali lagi terlepas dari suka tak suka, komentar begini begitu yang muncul, tak bisa dimungkiri, Soundrenaline memang layak disebut sebagai ajang musik terbesar setidaknya di Asia Tenggara.
Tentu penyelenggara perlu juga memperhatikan catatan-catatan kecil termasuk bagaimana agar menghilangkan kesan line-up tidak artis ‘itu-itu saja’ karena ada beberapa nama yang seperti langganan tampil. Pun tetap memberi peluang penyanyi atau band lagu berbahasa Bali yang menjadi fenomena tersendiri di pulau dewata untuk mendapat porsi di acara tahunan ini meski tampil tampil tidak di prime time. * adnyana